Assalamu'alaikum Wr Wb
Wanita Hamil |
Postingan kali ini bermula saat teman saya mengatakan "moden saiki duso tok, wes roh meteng malah dikaweno, mlebu neroko kabeh sok ben modene" lalu bertanya, emang tidak boleh to misalkan ada cewek hamil sama pacarnya terus dinikahkan ?
teman saya menjawab, "tentu saja tidak boleh, nunggu anaknya lahir dulu baru dinikahkan".
dan untuk lebih jelasnya saya coba googling dan menemukan beberapa artikel yang menjadi bahan guna menilai apa hukum menikahkan wanita hamil.
Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil menurut Islam ?
Oleh: Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus
dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung
menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut:
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah[1]nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”
Lihat: Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat
perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya
kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir,
masalah ini kami uraikan sebagai berikut: Perempuan yang telah
melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya
melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan
para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum
mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ
امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ:
فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ
فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy
membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan
pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi
‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan:
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat
perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia
menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh
Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny
9/564 berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang
muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena
permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan
zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang
lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama: Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy,
Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq
bin Rahawaih.
Kedua: Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah,
tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut
Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad,
apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu
sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh
melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’
dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu
sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka
boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro`
(telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin
‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi
hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang
shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ
فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ
يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ
يَحِلُّ لَهُ
.
.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu
ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya
telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke
kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan
bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa
perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan,
maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah
dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan
yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kesimpulan Pembahasan:
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina
kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat
dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu
yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga
merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau
berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat
yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi
Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan
bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini
adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ
دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ
اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin
walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan
apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari
dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa
adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat: Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
Footnote:
[1] Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Author 4/438: “‘Iddah
adalah nama bagi waktu penungguan seorang perempuan dari menikah
setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya. Apakah dengan
melahirkan, quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan beberapa bulan.”
Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil menurut hukum negara ?
Pertanyaan:
Keabsahan Perkawinan Saat Istri Hamil di Luar Nikah
Seorang teman saya telah menghamili pacarnya. Setelah hamil sekitar 3
bulan, demi menghindari kecurigaan di kalangan keluarga, maka teman saya
bersepakat dengan pacarnya untuk menikah. Sedangkan, saat itu semua
keluarga tidak ada yang mengetahui bahwa si wanita sedang hamil. Maka
seperti biasa proses perkawinan, setelah menikah teman saya.
itu
mendapatkan buku nikah. Namun, setelah usia perkawinan mencapai 6 bulan,
si wanita sudah melahirkan dan menimbulkan kecurigaan, yang akhirnya
diketahui oleh pihak keluarga bahwa dulu ketika dinikahkan, dia (wanita)
telah hamil di luar nikah. Akhirnya, keluarga sepakat untuk menikahkan
lagi, setelah si wanita melahirkan. Pada saat nikah kedua, keluarga
hanya menghadiri seorang penghulu tanpa diberikan buku nikah seperti
pada saat menikah pertama. Pertanyaan saya, bagaimana keabsahan buku
nikah yang dibuat pada saat menikahkan istri ketika sedang hamil di luar
nikah (nikah pertama)? Bagaimana status pernikahan kedua (setelah si
wanita melahirkan) yang tidak diberikan buku nikah? Mohon penjelasannya.
abuaqillah
Jawaban:
Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan”), perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian, tiap-tiap
perkawinan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama
(bagi yang beragama Islam) (Pasal 2 UU Perkawinan jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pencatatan perkawinan ini wajib dilakukan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
Atas pencatatan perkawinan ini, akan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan yang masing-masing diberikan kepada suami dan istri (Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UU Adminduk). Untuk yang beragama Islam, dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, buku nikah adalah kutipan akta nikah.
Jadi,
perkawinan yang sah menurut UU Perkawinan adalah yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agama, dan agar perkawinan tersebut diakui Negara,
maka perkawinan tersebut harus dicatatkan. Dengan demikian, dalam kasus
yang Anda sampaikan, perkawinan yang sesuai peraturan perundang-udangan
adalah perkawinan yang pertama.
Di
sisi lain, kami kurang jelas mengenai maksud dari dilangsungkannya
perkawinan kedua. Jika perkawinan kedua dilangsungkan agar anak yang
dilahirkan dianggap anak yang sah dalam perkawinan tersebut, maka
perkawinan kedua tersebut tidak mempunyai dasar hukum. Ini karena
berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Selain itu, dilihat dari Hukum Islam, ada yang dinamakan dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”), yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Jika wanita tersebut telah menikah dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya dilahirkan, maka berdasarkan Pasal 99 KHI, anak tersebut adalah anak yang sah. Ini karena anak yang sah adalah:
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Jadi,
sepanjang perkawinan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan,
maka buku nikah yang diberikan pegawai pencatat nikah pada pernikahan
yang pertama dalam kasus tersebut (saat si wanita sedang hamil) adalah
sah. Kemudian, status pernikahan kedua setelah si wanita melahirkan
anaknya, adalah tidak mempunyai dasar hukum, dan tidak perlu dilakukan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
5. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
Sekian Postingan kali ini semoga bermanfaat bagi semua bagi saya khususnya.
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
0 komentar:
Posting Komentar